Sidik Jari Driver


“Tulisan itu adalah sidik jari.”

Bismillah.
Kenapa sidik jari? Maksudnya bagaimana? Tenang, tehnya masih hangat. Sabar.

Kutipan di atas bukan kutipanku, tapi keluar dari mulut seorang penulis Makassar. Dia seorang perempuan yang aktif di bidang literasi khususnya di Kota Makassar. Saya yakin, orang yang bergelut di bidang jurnalistik Kota Makassar pasti mengenal beliau. Umurnya? Ah, entahlah. Saya tidak perlu tahu itu, hal penting yang saya perlu tahu ialah semangatnya untuk berbagi ilmu Jumat kemarin.

Alhamdulillah kemarin Aksi Indonesia Muda (AIM) mengadakan Capacity Building dan Presiden AIM mengundang beliau. “Kita perlu belajar literasi khususnya generasi milenial saat ini.” kata Presiden AIM.
   Saya sepakat dengan dia. Dan kemarin, saya berkesempatan bertemu dengan penulis sekaligus editor di salah satu media massa terbesar di Indonesia.
 
   “Panggil saja Kak Ime.”
   “Oh iya Kak.”
   “Jadi bisa kita mulai sekarang?” tanya Kak Ime ke Pres AIM.
   “Ya kalau tidak ada lagi yang ditunggu kita bisa mulai hehehe.” jawabnya mantap.

Kelas dimulai dengan sebuah pertanyaan?
Apa ekspektasi teman-teman semua datang hari ini? Di ruangan ini?

Di dalam ruangan yang berukuran 4x5 dengan jumlah peserta sebelas orang, kami saling melirik satu sama lain. Ayo, jawab duluan, oi, kataku dalam hati ke teman-teman hehehe. Canggung? Hahaha iya.

“Teknologi + media sosial + kebiasaan sharing.”
“Belajar menulis yang memikat pembaca.”
“Menyusun struktur paragraf yang baik dan benar.”
“Memulai kebiasaan menulis.”
“Menulis secara efektif dan enak dibaca.”

Ada begitu banyak pendapat. Saya tidak bisa mengingat semuanya hehehe. Ya seperti itulah.

Kak Ime tersenyum dan mulai duduk kembali di kursinya. Kemudian berbincang-bincang dengan kami.
   “Kita hidup di era di mana teknologi berkembang sangat pesat dan begitu cepat. Inovasi terus bermunculan, robot, aplikasi, dan lain-lain termasuk media sosial yang banyak orang gunakan saat ini. Bahkan teman-teman yang ada di ruangan ini hampir semua menggunakan media sosial yang ditawarkan oleh beberapa perusahaan.”
Tak sedikit dari kami mengangguk mengiyakan perkataan Kak Ime.
   “Satu-satunya cara kita untuk bertahan sebagai generasi milenial di zaman saat ini ialah kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Terus berinovasi dan berkreasi, tidak menutup telinga mendapatkan masukan dan terus belajar.”
   “Tapi, teman-teman…” Kak Ime memanggil akrab kami sebagai temannya hahaha. “Teknologi dengan kebiasaan sharing di media sosial membuat kita mengidap penyakit.” Lanjutnya.

Ha? Penyakit? I’m serious.

   “Kita terkena syndrome Me2 atau istilah di kalangan anak muda termasuk lansia itu penyakit ‘Gila urusan’. Ingin juga up to date dengan informasi-informasi baru dan berusaha untuk melakukan hal yang sama dengan orang lain lakukan. Kita jadi kepo dan ingin tahu segala urusan orang lain. Mulai dari bangun tidur, masak, jalan ke mal, hingga tidur di toilet. Bukan hanya kepo, kita juga jadi selalu ingin berbagi hal-hal yang sebenarnya itu privasi dan tidak perlu diketahui oleh orang banyak.

Tapi, Kak, kebiasaan share ini juga bisa berdampak baik loh ke orang lain. Apalagi banyak.

   “Teknologi ibarat pisau bermata dua. Ada putih dan hitam. Ada positif dan hitam. Ada baik dan buruknya. Dan alangkah bijaknya kita kalau yang di-share cukup hal-hal positif yang tidak bersifat privasi karena nanti bakalan berdampak negatif ke teman-teman.”

Apa keresahan yang Kak Ime rasakan saat ini?

   “Hoax. Saat ini kita dengan mudah menyebarkan info yang ternyata hoax. Begitu mudah. Begitu dapat pesan singkat di whatsapp atau media sosial lainnya yang berisi ancaman kalau tidak disebar, kita malah ikut menyebarkan tanpa mengecek info atau sumber-sumber lainnya. Cara mudah mengidentifikasi HOAX, cari informasi dan sumber-sumber lain di internet. Bijak bermedia sosial.”   

Tulisan yang memikat pembaca?
  
   “Tulisan itu adalah sidik jari. Punya ciri khas yang membedakan antara satu dengan yang lain. Pengalaman akan membentuk sidik jarimu. Pengalaman bisa diperoleh dengan banyak membaca buku, membedah teknik penulisan penulis favoritmu dan mengkombinasikan hingga menjadi sidik jarimu yang tidak bisa ditiru oleh orang lain.”
   “Dan, teman-teman, menulis yang baik dimulai dari riset. Kita akan banyak belajar dari riset.”

Membiasakan membaca. Sudah membaca, menulis, biar ilmunya tersimpan di… (otak) (hati) (telinga kanan-kiri) (arsip)? Kita tahu di mana ia akan tersimpan, right?

Sidik jari. Setiap orang memiliki sidik jari yang berbeda antara satu dengan yang lain. Bagaimana bisa? Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Luar biasa bukan?

Allah sudah memberikan informasi yang jelas beberapa abad yang lalu sebelum akhirnya Francis Galton (1880), ilmuwan asal Inggris yang amenbuktikan bahwa di dunia ini tidak ada yang mempunyai lekukan halus sama pada sidik jarinya. Dan belua juga mengatakan bahwa sidik jari terbentuk sejak kita masih di dalam kandungan. Masya Allah.

أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (٣) بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَه (٤
Artinya:
Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (3)
Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna. (4)

Hmm, kita punya sidik jari kemenangan. Kita menang ketika mampu menguasai diri untuk menuliskan hal-hal yang baik dan tidak privasi untuk disebar ke mana-mana. Karena kita tahu dampaknya akan kembali ke diri sendiri.


Sidik jari yang kita gunakan untuk menulis, menyebarkan, dan mengamalkan ilmu yang kita peroleh akan membentuk kepribadian dan brand image kita ke orang lain. Jadi silakan menentukan sidik jari kita? Pastikan sidik jari itu membawa kita ke arah kemenangan hehehe.

Comments

Popular posts from this blog

Teh Botak dan Kepindahannya

BAB di Kampus

Akhi Wa Ukhti