Bagai Ruri yang Lupa Keteknya

"... biar nanti saya tidak seperti kacang yang lupa kulitnya..."



   Kata-kata itu saya dengar langsung dari bibir ajaib Ruri Handoko, teman kelasku. Beberapa hari yang lalu, kami berkumpul di rumah salah satu senior mezin *pake 'Z' biar ZANGAR* hehehehe... Kami tidak berdua kok seperti sepasang kekasih mesum, ada senior dan teman-teman lainnya. Saat itu saya dan Ruri lagi istirahat setelah capek melihat Sarman mengerjakan tugas kelompok. Ya, kami berdua sedikit kerja banyak istirahat, beda dengan Si Sarman yang rajin dan bertanggung jawab.
   "Eh Ruri sana-sana pi, kan masih banyak tempat." kataku sambil mendorong Ruri ke tempat pemakaman.
   "Tunggu Dog, ini banyak lalat di sini." jawab Ruri, pelan. Dia bukan mau mati, tapi suaranya memang kayak gitu. Ya, mungkin bawaan sejak dalam rahim.
   Melihat kami saling tendang-menendang pakai kepala, senior yang punya rumah bilang, "Kalian kayak lagi pacaran saja,"
   "Ini, Kak, Ruri tidak mau pindah padahal banyak tempat." saya mencoba membela diri.
   "Jangan di sini kalo mau pacaran." lanjutnya
   Ruri seolah tidak mendengar perkataanku dan senior, dia masih saja asyik dengan hapenya sambil tertawa. Yah, begitulah akibat gagal PMS. Jadinya kayak Ruri... suka tertawa aneh.

   Dengan perasaan ringan hati dan kasihan melihat Ruri yang nantinya tidur sama lalat, saya mengalah. Mengalah untuk terjepit. Tapi saya selalu ingat dengan prinsip hidup rambut ketek, "Meskipun dalam keadaan terjepit, rambut ketek masih tetap tumbuh dan berkembang. Tetap semangat dalam menjalani hari-hari."

   Di saat saya mulai tenang dan memasuki dunia lain (tidur), tiba-tiba Ruri menepuk bahuku, "Woy, Fuad, ko punya blog?"
   "Hmm..." saya mengangguk mengiyakan.
   "Bagaimana cara bikin blog, susahkah?"
   "Tidak ji," saya bangun dan bertanya balik ke Ruri, "Memangnya kenapa mau bikin blog?"
   Dan... di sinilah Ruri mulai berorasi panjang x lebar. Mungkin di antara teman kelasku sekarang, dia adalah orang yang jago bicara di hadapan teman-teman. Apalagi kalau bicara soal kritik sosial. Hmm... Si Ruri jagonya...
   "Karena kalo saya punya blog, saya bisa menulis catatan harianku di situ. Perjalanan hidupku dari sekarang (mahasiswa) sampai saya sukses nantinya." Ruri suka menjelaskan dengan tangan yang selalu bergerak ke mana-mana sampai tinju bahu orang.
    "Selain itu?"
   "Saya jadi punya catatan harian dan biar nanti saya tidak seperti kacang yang lupa kulitnya. Saat saya sukses nanti, saya bisa baca kembali tulisanku, melihat kembali bagaimana usahaku dari awal, dari susah dahulu hingga senang kemudian." 
    Saya tersenyum kagum mendengar perkataan Ruri. Luar binasa... Ruri.
Bagai Ruri yang lupa keteknya



Yap, "Kacang yang lupa kulit". Lupa dari mana dia berasal. Lupa dengan siapa dia merintis kesuksesannya. Lupa bagaimana peran orang tua dan orang-orang terdekat yang membantu.

Beberapa orang mengartikan kesuksesan dari banyaknya uang. Padahal pepatah tua pernah berkata, "Uang tidak bisa membeli kebahagiaan." Dan pepatah muda sekarang melanjutkan, "Karena ada hal lain yang bisa membuat kita lebih bahagia."

Saya teringat dengan tulisan di dalam bukunya Bang +Alit Shitlicious, "Hidup tanpa punya apa-apa memang pedih. Tapi, lebih pedih lagi kalo hidup tanpa punya siapa-siapa."  

Yap, lebih baik bersama orang-orang yang mencintai dan menyayangi kita, daripada bersama barang-barang yang sama sekali tidak mencintai kita. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Teh Botak dan Kepindahannya

BAB di Kampus

Akhi Wa Ukhti