A Book From Jeremy

Tanggal 26 Februari 2017. Hari ini adalah hari terakhir temanku dari Cina, Jeremy, di Indonesia. Nama Cinanya, Wang Bin, tetapi saat tinggal di Indonesia dia menggunakan nama Inggris, Jeremy. I don’t know why. But it is his choice.

Pagi ini, aku bangun lebih awal. Walaupun agak gerinis tapi aku tidak ingin bermalas-malasan. Ini terakhir, kataku dalam hati. Jeremy akan pulang ke rumahnya. Ya, rumah.

Di Indonesia, tepatnya di Makassar, kita dipertemukan. Saya dan teman-teman dari Widyawiyata Team bertemu di bandara. Masih teringat jelas waktu pertama kali aku menemuinya. Ketua panitia proyek ini, Furqan, menyuruhku untuk menjemput dan menemani Jeremy dulu kalau dia datang terlambat. Dan ternyata benar, dia telat. Saat aku tiba di bandara, Furqan belum datang. Aku menunggu Jeremy di pintu kedatangan. Jinjit dan jinjit, mana kau Jeremy.

Aku akhirnya bertemu Jeremy sedang berbicara dengan petugas bandara. Aku menyapanya, “Are you, Binny?”
   “Ya, I’m Jeremy.”
   “I am Fuad.” Kataku, setengah gugup.
   “Are you AIESECer?” tanya Jeremy.
Waktu itu, aku tidak mengerti apa yang Jeremy tanyakan. Pengucapan huruf “R” tidak terlalu kentara. Berulang kali aku memintanya untuk mengulangi pertanyaan. But, forget it hahaha.

Kami berdua jalan, dia membawa tas plastik dan aku membantu mendorong kopernya.
   “...”
   “.......”
Tak ada percakapan. Saya gugup, bingung mau bilang apa.
   “So, where will we go?” tiba-tiba Jeremy bertanya.
   “Aaa.... your host family.”
   “By what?”
   “Motorcycle.”
   “WHAT??? Are you crazy?”
Sekali lagi, saya gugup. Dan hanya bisa tertawa bodoh. Dia geleng-geleng kepala.

“Tut tit tut tit” hapeku berdering. Furqan menelponku dan bertanya posisi kami. Aku lalu menjelaskan, kami sudah dekat tempat parkir dan mau berangkat ke host familynya Jeremy. Furqan pun geleng-geleng kepala. Terik matahari membuat kepalaku juga pusing.

“Hey, Jeremy!!!” sapa Furqan.
“Hello Fuqan.” Balas Jeremy.
Saya hanya tersenyum saat bertemu Furqan dan panitia lainnya, Kak Ocha.

“Kasian Fuad kalau kau mau antar dia pake motor.” Kata Kak Ocha, menasehati.
“...” diam, lalu diikuti dengan tawa. Lupakan, lanjut hahaha.

Akhirnya Jeremy ikut bersama Furqan dan Kak Ocha yang bawa mobil. Aku mengikut di belakang bersama motor kesayangan.

Ya, hari itu. Masih teringat jelas. Dan hari ini, di hari terakhir Jeremy, aku juga yang menjemputnya dari host familynya.

Pukul 7 pagi, hapeku berdering. Dian menelpon dan bilang kalau ada AIESECer yang mau jemput Jeremy. Rumah Jeremy jauh dekat perbatasan Makassar dengan Kabupaten Gowa. Jauh dari bandara. Sebenarnya ada teman AIESEC yang mau jemput, tapi karena buru-buru, dia tidak sempat menjemputnya.

Sebagai superhero, aku datang menjemput dan menolong Jeremy supaya tidak ketinggalan pesawat. Aku bertemu dengan bapak angkatnya Jeremy.
   “Hey, Jeremy. Come on!”
   “Hey, are you alone?”
Saya mengangguk. “Mana yang lain?” tanyanya.
Saya bilang, mereka tidak bisa menjemput dan Ocha juga tidak merespon.
   “Sori, mereka tidak bisa. Aku bisa mengantarmu ke bandara.”
Dia keluar rumah, dan, “By motorcycle?”
   “Ya.”
   “Are you crazy? You sure?”
   “I am sure. Trust me. I can handle it.” Saya mencoba menenagkan dia yang mulai bingung dan tidak percaya.

Barangnya memang banyak. Koper yang besar dan beberapa kantong plastik berisikan makanan dan minuman produk Indonesia. Dalam hati, saya berdoa, semoga aman dan bisa tiba di tempat tujuan.
Cukup lama kami di rumah host family Jeremy. Dia berulang kali bertanya, “Are you sure? Are you crazy? I don’t want trust you!”

Tapi, pada akhirnya dia mengikut karena tidak ada pilihan lain. Entah berapa kali dia menunjukkan rasa kecewanya dengan mengeluarkan kata-kata yang kurang baik, menurutku. Aku hanya bisa tertawa dan bilang kalau ini adalah momen bahagia.
   “Hari terakhir adalah hari bahagia seperti yang kau bilang saat akan berpisah dengan keluarga angkatmu di Takalar.”
  “Ini akan cerita lucu dan akan kau ingat ketika kau tiba di rumahmu nanti.”
Jeremy hanya diam dan geleng-geleng kepala.
   “Ini adalah hari buruk. Momen baik bagimu, tapi bagiku ini adalah ingatan yang buruk selama di Indonesia.
Sekali lagi, saya hanya tertawa dan coba menghiburnya.

Kami tiba di rumah Furqan yang beberapa menit sebelumnya menelpon dan bilang kalau Jeremy bisa diantar pakai mobil asal diantar ke rumahnya. Rumah Furqan agak dekat dari bandara sebenarnya.

Jeremy turun dari motor. Saya melempar senyum, tetapi dibalas dengan tatapan yang kurang bersahabat. WHY?
   “I am disappointed.” Katanya sambil geleng kepala.  
   “^_^”

Sikap Jeremy mulai berubah saat kami di perjalanan menuju bandara dengan menumpang di mobil kakaknya Furqan. Dia tersenyum dan menawarkanku snack yang dia beli tadi malam.
   “Mana baju, Fuad.” Tanya Furqan.
   “Ini! Delapan lembar.” Aku mengeluarkan baju dari kantong plastik. Baju yang sebenarnya akan kami kenakan di International Culture Festival. Kemarin. Tapi, tidak jadi karena tempat kami sablon melakukan kesalahan.
   “Wear it, please. We gonna take a picture later in the airport.” Pinta Furqan ke Jeremy.
Kami langsung ganti pakaian di mobil.

Suasana hatinya mulai membaik. Entah kenapa, saya jadi teringat kembali saat pertama kali bertemu dengan Jeremy. Di awal pertemuan, saya selalu berada dalam situasi yang tidak baik. Dan saat Furqan datang, semuanya mulai membaik. I don’t know why.

Kami tiba di bandara dan bertemu dengan Dian dan Yoel di sana. Hanya Kak Ocha dan Andre yang tidak bisa mengantar Jeremy pulang. Kami lalu berfoto dan... Jeremy memberi kami buku catatan yang sampulnya dia gambar sendiri. Hewan hahaha. WHY??? Entahlah.
yang pakai topi itu, namanya Nine. Proyek lain.

Widyawiyata Team. Kurang Andre dan Kak Ocha
Yoel, Furqan, Jeremy, Dian, and Me

 
Thank you, Jeremy.
See you next time in China or another country.

Comments

Popular posts from this blog

Teh Botak dan Kepindahannya

BAB di Kampus

Akhi Wa Ukhti