Sampai Kapan?
Hari ini hari Sabtu. Bagi anak kos, hari ini adalah waktu yang pas untuk mencuci, membersihkan kos dan sekitarnya, merapikan pakaian dan buku-buku yang mungkin berserakan karena tugas-tugas yang menumpuk ^_^ hahaha...
Aku adalah orang pelupa. Jadi, tiap kali akan melakukan sesuatu, aku selalu mencatat agar apa yang kulakukan itu terlaksana dan aku pun merasa produktif dan tidak membuang-buang waktu dengan hal-hal yang kurang bermanfaat.
Pagi ini, aktivitas dimulai dengan mencuci pakaian kotor di kos sendiri. No laundry. Selagi masih bisa sendiri, kenapa mesti laundry. Prinsip anak kos hahaha.
Setelah berkutat dengan pakaian kotor, pindah ke tugas lain: merapikan buku, menyusun kertas-kertas bekas yang masih bisa digunakan kembali dan melipat pakaian bersih. Saat menyusun kertas-kertas yang berserakan di sekitar pintu kos, saya menemukan kertas yang berisikan tulisan seseorang. Seseorang yang selalu kuingat sampai hari ini, dan tidak akan terlupakan.
Sosok yang dewasa, puitis, dan menenangkan. Tulisan itu dibuatnya sewaktu masih berseragam putih abu-abu. Aku membawa tulisan itu ke Makassar. Tulisan biasa, tak ada yang istimewa dari bentuknya, kecuali isinya yang tersirat. Tulisan itu pula yang memunculkan rasa rindu. Rasa kecewa karena tak dapat membalas kebaikannya. Sepucuk surat.
Kini, jarak bukan lagi masalah untuk sebuah hubungan pertemanan, persahabatan, ataupun hubungan dengan keluarga. Kini semuanya terasa dekat. Tujuan awal pengembangan teknologi untuk mendekatkan yang jauh, memudahkan komunikasi jarak jauh. Tapi, apa yang terjadi saat ini. Hubungan itu sama sekali tidak terasa dekat. Melainkan jauh.
Bukan, ini bukan salah teknologi. Tergantung setiap orang bagaimana memanfaatkan teknologi yang berkembang. Ini salahku. Aku akui itu.
Teknologi semakin maju, kini aku bisa mengirim pesan rindu pada kedua orang tua, teman, sahabat, siapapun itu. Tapi pada kenyataanya, aku tak melakukannya. Padahal se-simple menelpon pun aku tak menelpon. Kirim e-mail pun jarang, apalagi membalas.
"Aku tak kuat dengan hubungan jarak jauh."
"Aku merindukan keluargaku di sana."
"Aku tak bisa hidup sendiri."
Aku menyadari suatu hal, bahwa hidup ini kadang terasa jauh saat seseorang tidak memberanikan diri dan tidak mau untuk menyapa yang terasa jauh itu. Sebenarnya dekat, tapi kita yang membuatnya terasa jauh. Kadang, aku merasa jauh dari Sang Pencipta, karena aku tak memanggil-Nya, menemui-Nya dalam sholat. Padahal kita tahu, bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya yang mengingat Dia.
Lalu pertanyaannya,
sampai kapan aku merasa jauh dari teman-teman? Sampai kapan aku merasa jauh dari keluarga? Sampai kapan aku merasa jauh dari Allah swt.? Sampai kapan aku berlari menjauh dari yang dekat?
sampai kapan aku merasa jauh dari teman-teman? Sampai kapan aku merasa jauh dari keluarga? Sampai kapan aku merasa jauh dari Allah swt.? Sampai kapan aku berlari menjauh dari yang dekat?
Comments
Post a Comment