: = +

"Guru, bisa ajari saya?" tanya seorang teman.
"Ha, ajari apa?" saya bertanya balik. "Saya bukan guru."
"Mengaji, guru."
Saya diam untuk beberapa saat. 

Malam itu adalah malam Jumat. Dan ini bukan tulisan tentang malam Jumat kliwon atau malam di mana hantu-hantu berkeliaran. Tetapi ini tentang Jumat yang penuh dengan kemuliaan dan kesenangan berbagi.

Ketika teman saya, Suhandi, meminta saya untuk mengajarinya mengaji,. Pertanyaan-pertanyaan muncul di kepala. Sudah berapa lama saya tidak mengaji? Sudah berapa lama saya tidak mengulang-ulangi hafalan surahku? Kenapa saya tidak meneruskan bacaanku? Sampai kapan saya bermalas-malasan?

Saya teringat dengan pesan guruku sewaktu madrasah. Guru bahasa Inggrisku, dia selalu mengajak saya dan teman-teman untuk membaca Al-Qur'an, khususnya surah al-Kahfi di malam Jumat dan hari Jumat.

Di dalam kelas, tepatnya sewaktu kelas XI
   "Ya, sebelum kita belajar hari ini. Mari sama-sama kita membaca surah al-Kahfi!" ajak Ibu Sukma.
   "..." teman-teman saling memandangi. Tidak semua membawa Al-Qur'an.  
   "Iya, Bu." yang membawa Al-Qur'an menjawab.
   "Ada yang tahu surah ke berapa al-Kahfi?" tanya Bu Sukma lagi
Beberapa dari kami, termasuk saya tidak tahu surah ke berapa dan apa manfaatnya. Namun, sebagian dari kami ada yang menjawab, "Surah ke 18, Bu."

Di pertemuan pertama, tidak semua dari kami membawa Al-Qur'an. Termasuk saya -__- hahahaha ^^. Namun, di pertemuan selanjutnya, kami mulai membawa Al-Qur'an. Hari itu, saya jadi tahu kenapa kita hendaknya membaca surah al-Kahfi.
Setelah hari itu, kami sudah terbiasa untuk membaca surah al-Kahfi terlebih dahulu sebelum pelajaran bahasa Inggris dimulai. Senang rasanya bisa menghafal sepuluh ayat surah al-Kahfi, Menghafal tidaklah sulit, yang sulit itu menjaganya. Begitulah pesan salah seorang teman.

   "Guru, bagaimana?" tanya Suhandi.
   "Ya."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, saya langsung mengambil Al-Qur'an.
   "Silakan di baca, Suhandi." 
   "Kalau ada salah, bilang saja nah, langsung." pinta Suhandi.
Saya mengangguk mengiyakan.

Belajar itu butuh waktu untuk mengerti dan memahami apa yang dijarakan. Belajar tidaklah instan, ada proses di dalamnya. Hal yang sama pun berlaku saat kita mengajari orang lain.

Mengajari orang lain itu tak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu untuk sabar dan tetap tenang saat melihat kesalahan orang lain. Pernah suatu malam, saat mengajari membaca Al-Qur'an, saya berkata dalam hati, "aduh, ini sudah besar tapi kok masih salah. Astagfirullah, aneh bin nyata. Cmcmcm, apa yang kau bikin selama ini"

Maafkan saya saudaraku, temanku. Mungkin ada sisi hitam atau sikap saya yang tidak baik malam itu. Tapi, percayalah teman-teman dari situ kita sama-sama tahu kelemahan dan kemudian saling menguatkan dengan mengajari satu sama lain apa yang menjadi kelemahan kita.

Ketika kita belajar, ada ilmu baru yang kita dapat. Tapi, tidak hanya berhenti di situ. Kadang, ilmu itu mudah hilangnya. Kita hanyalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Salah, khilaf adalah hal yang wajar. Lupa, apalagi. Lalu, bagaimana cara untuk menjaga ilmu yang kita dapat?


Share. Berbagi. Saya senang dan merasa bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman yang memiliki jiwa sosial tinggi. Berbagi. Karena berbagi itu berarti menambah bukan mengurangi. Karena berbagi bukan soal kaya atau miskin, tapi soal hati yang ikhlas.

Ketika saya mengajari Andi mengaji. Saya merasa senang bisa berbagi. Itu sifat alami manusia bukan? Ketika saya menyadari bahwa Andi memiliki kesalahan, saya pun belajar bahwa saya juga banyak salah dan masih banyak yang saya tidak ketahui tentang hukum tajwid dan makharijul huruf yang benar. Tapi, bukan berarti sampai di situ. Sambil mengajar, kita juga belajar ke orang yang lebih paham dari kita.

Apa berbagi itu sulit? Apa berbagi membuat kita miskin? Apa berbagi itu membuat kita bodoh? 

Comments

Popular posts from this blog

Teh Botak dan Kepindahannya

BAB di Kampus

Akhi Wa Ukhti