Bertemu Teman SD
Bismillah.
Assalamu 'alaikum...
Tidak terasa sekarang sudah di akhir-akhir bulan suci
ramadhan. Alhamdulillah sampai hari ini puasa saya tidak bolong, dan saya harap
tidak akan pernah bolong sampai hari akhir ramadhan nanti.
Saat saya menulis tulisan ini, saya lagi di Jeneponto,
Sulawesi Selatan. Kampung halaman nenek. Di sini, saya tidak sendirian, ada
adek yang datang dari Kendari. Dia memang berniat datang cepat ke Jeneponto
buat liburan. Sedangkan saya, saya hanya ikut karena orang tua bilang kalau
sebaiknya saya di Jeneponto saja sampai lebaran tiba.
'Kamu di sana saja dulu, Fuad. Karena percuma kalau
kamu pulang ke Kendari baru belum ada ijazah.' kata Ibu saya dalam telpon.
Saya hanya mengangguk mengiyakan.
Sebenarnya saya ingin pulang ke Kendari. Tapi, karena
perkataan Ibu, saya pun berpikir dua kali. Setelah memikirkannya dari mentah ke
matang, ada benarnya juga. Kalau pulang, ongkos pulang balik akan semakin
bertambah dan tentunya akan memberatkan orang tua T_T.
Saya ke Jeneponto setelah empat tahun
lamanya tidak pulang kampung. Saya bertemu dengan teman-teman SD, yah pertemuan
kami cukup mengharukan seperti adegan di sinetron-sinetron. Ada pelukan dan
tawa, sampai-sampai orang yang melihat kami merasa ada orang gila sekaligus
homo yang peluk-pelukkan di jalan.
Sehari setelah saya tiba di Jeneponto,
saya bertemu dengan teman SD. Namanya Ardi. Dia tinggi, hitam manis, dan murah
senyum. Sesekali dia menyisir rambutnya ke samping kanan menggunakan tangannya
sendiri. Kalau menggunakan tanganku, mungkin orang yang melihat kami berpikir
kalau kami berdua adalah sepasang kekasih. Pertemuan itu membuatku jadi ingin
melihat teman-teman yang lain. Melihat teman-teman kecil semasa SD. Tiap
melewati rumah salah satu teman kelas, saya selalu berharap bisa bertemu dan
melihatnya lagi. Tapi, hanya tiga orang yang saya temui setelah Ardi. Dan
semuanya laki-laki, mereka adalah Upik,
Haris, dan Sophi. Saya mencoba menanyakan bagaimana kabar dan keadaan
teman-teman yang lain. Tapi jawaban mereka sama, 'Saya tidak tau juga, Fuad.
Sudah banyak yang keluar kota, dan rata-rata sudah bekerja.'
Banyak yang berubah setelah saya bertemu
dengan keempat temanku itu. Sekarang mereka sudah lebih besar, tumbuh dengan
normal. Berbanding terbalik dengan saya. Banyak dari mereka yang sudah bekerja,
sedangkan saya masih menganggur. Masih pacaran sama laptop, hape, dan buku
jones.
Saat masih SD, kami ingusan dan hanya tahu
bermain saja. Setiap jam istirahat, kami biasa bermain bola dan main sepeda di
halaman sekolah. Sambil mengayuh sepeda, kami biasanya saling
tendang-menendang. Semuanya terasa wajar-wajar saja dan kami tidak dilarang
oleh guru untuk bermain sepeda di sekitar halaman sekolah. Selain itu, kami
juga biasa menumbuk-numbuk buah ketapang yang jatuh di depan kelas, lalu
memakan isi buahnya. Buah yang tidak bagus dan bonyok biasa kami gunakan untuk
main lempar-lemparan. Semuanya terasa seru saat masih kecil dulu. Tapi setelah
besar dan saya coba membayangkan, bagaimana jadinya kalau kami bermain sepeda
lalu saling tendang-menendang. Kami terlihat seperti orang idiot. Sama halnya
dengan memakan buah ketapang sambil berlarian, saling melempar buah ketapang di
saat kami sudah besar itu seperti orang idiot yang suka tawuran dengan ingus
yang masih melekat di pipi.
Di sore hari, sambil menunggu bedug
maghrib. Saya duduk di teras rumah, memandangi anak-anak kecil yang sedang
asyik memainkan permainan tradisional. Mereka terlihat senang dan sangat
menikmatinya. Ada tawa dan keringat yang bercucuran. Tanda kalau mereka masih
hidup. Semuanya terasa seru saat kecil. Apalagi bermain dengan teman-teman SD.
Teman SD, mungkin mereka adalah teman
lama. Teman baru selalu ada tiap kita naik ke jenjang sekolah yang lebih
tinggi. Tetapi mereka tetap menjadi bagian dari masa-masa yang menyenangkan
saat masih SD dulu. Karena mereka juga kita bisa bertemu dengan teman yang
baru.
...
Bulan Juni kemarin, teman saya pulang dari Amerika.
Dia baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai agen di sana. Sebagai teman, saya
kagum sekaligus bangga bisa bertemu dan berkenalan dengannya. Karena dia saya
jadi punya impian, ingin belajar di luar negeri juga. Selama berteman dengan
dia, saya dapat banyak pelajaran yang berharga. Mulai dari mencintai diri
sendiri, percaya pada diri sendiri, bangga menjadi diri sendiri, sampai bodoh
dan gila sendiri.
Beberapa hari yang lalu saya mengirim sms ke dia. Mau
nanya-nanya bagaimana rasanya memakai seragam putih abu-abunya lagi. Mungkin
seperti inilah obrolan singkat kami :
Saya : Ciyeee yang pake seragam putih abu-abunya lagi.
Selamat yah, nyet :P. Bagaimana seru?
Nyet : Haha yotoh, muka baru
semua segar-segar, hahaha banyak odo-odo huh + semangat pergi sekolah
Tuh kan, benar-benar singkat.
Setelah obrolan singkat itu, saya terus
membayangkan bagaimana kehidupan dia dengan teman-teman barunya. Mungkin akan
sangat seru.
Di suatu malam setelah sholat tarawih,
teman kelas saya yang ada di Kendari menelpon. Dia lalu menyambungkan ke
beberapa nomor hape teman yang lain, termasuk Nyet. Pada satu sesi, teman-teman membicarakan acara buka bersama
di sekolah. Saya hanya diam mendengarkan suara mereka. Di saat yang lain asyik
merencanakan acara bukber bersama alumni, saya hanya bisa duduk diam termenung.
Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang baru selalu lebih baik dari yang lama?
Dan apa yang dekat selalu menenggelamkan yang jauh?
'Sekolah, seragam putih abu-abu, dan teman
baru.'
Saya hanya bisa membayangkan bagaimana
serunya menjalani masa putih abu-abu dari kejauhan. Apalagi setelah membaca sms
temanku, Nyet. Wajah-wajah baru dengan suasana baru mungkin akan sangat dia
sukai daripada yang lama. Saat itu, saya berpikir kalau yang baru akan
mengalahkan yang lama. Begitu pun dengan yang dekat, akan mengalahkan yang
jauh. 'Baru lebih baik dari yang lama.'
Tapi,
saya tidak yakin sepenuhnya dengan pemikiran yang datang sesaat itu. Menurutku,
lama tidak selalu berarti akan tenggelam karena adanya yang baru. Sama halnya
dengan jauh dan dekat. Karena saya percaya ada sesuatu yang lebih hebat dan
bisa mengalahkan batasan-batasan seperti waktu dan jarak.
Comments
Post a Comment