Bumi Langit: Ketika Bumi Berbisik Kepada Langit


Bismillah.

Langit, sebuah mahakarya dari Sang Pencipta.


Aku memandangi tanaman kecil ini, tampak berusaha mencari datangnya sinar matahari. Tanaman memang sangat membutuhkan sinar matahari, tanpanya tanaman tersebut akan mati. 


Aku lalu memandangi langit, Masya Allah, indah. Warna biru menunjukkan ketenangan. Awan putih memberikan kelembutan. Pasangan yang serasi. Aku jadi teringat sebuah kisah perjalananku di atas awan bersama kedua temanku. 


Tahun 2018 kami mengikuti lomba di Universitas Gadjah Mada. Itu adalah kali pertama aku ke Yogyakarta. Sebuah perjalanan hati, impian, dan kenangan. Kami take off dari bandara Sultan Hasanuddin menuju Yogyakarta sekitar pukul 2 siang. Kami duduk tepat di tengah badan pesawat. Sebelum berangkat, pramugari meminta kesediaan kami melakukan tindakan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Insya Allah, siap, kataku dalam hati sambil mengangguk, mengiyakan instruksi pramugari. 


Satu jam lebih di atas awan tiba-tiba pesawat berguncang, naik turun. Pramugari segera menginfokan kepada seluruh penumpang untuk tetap tenang karena kondisi cuaca yang sedang buruk. Sepertinya hujan, kataku dalam hati. Setiap kami melewati awan, pesawat kembali berguncang hebat. Aku coba melihat keluar jendela, kami berputar mengitari lautan yang ada di bawah kami. Ada instruksi kalau kondisi cuaca memang tidak baik. Seketika penumpang menjadi panik. Aku hanya berdzikir, memohon perlindungan dari Allah.


Lama. Ardi dan Suhandi menggenggam erat kursi mereka. Aku melihat mereka dan hanya bisa tersenyum lalu meneruskan dzikir. Aku tidak tahu apakah hal tersebut sudah biasa terjadi atau tidak. 


Setelah beberapa lama di atas awan alhamdulillah, kami akhirnya mendarat di bandara Adi Sutjipto dengan kondisi bandara yang licin dan basah karena terguyur hujan. Satu per satu turun dari pesawat dengan mengucapkan rasa syukur, alhamdulillah. Di bawah anak tangga, aku mendengar obrolan dari salah seorang penumpang yang panik ketika kondisi pesawat yang tidak stabil. Anak-anak kecil menangis dan beberapa orang tampak berdiri dari tempat duduknya. Sebenarnya aku sempat melihat, namun aku pikir itu jadi hal yang biasa.

   “Ah, ini pertama kalinya saya naik pesawat ke Yogya seperti ini.”

   “Oh yang tadi bukannya sudah biasa terjadi?” tanyaku, penasaran.

   “Tidak, tadi kondisinya benar-benar mengkhawatirkan. Saya juga sempat panik.” jelas Suhandi. Ya, mereka berdua sering ke Pulau Jawa untuk mengikuti lomba, tapi aku baru kali pertama ke Yogyakarta. Tidak tahu-menahu.


Alhamdulillah. Laa haula wa la quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah. Semuanya terjadi atas izin Allah.


Perjalanan di atas awan selama 2 jam itu kemudian menjadi bahan cerita Ardi di acara lomba yang juga dihadiri oleh penulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Eropa, Rangga Almahendra. Ardi bilang, "Kalau Pak Rangga menulis buku 99 Cahaya di Langit Eropa, saya mendapat inspirasi dari perjalananku selama di langit, 2 Jam di Atas Awan." semua mahasiswa tertawa mendengar lelucon Ardi.

Sejak kejadian itu, tiap kali akan menaiki sebuah pesawat. Aku berupaya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dan berdoa di setiap sujud seperti yang dilakukan temanku, Ardi. Sebuah akhlak yang baik untuk diikuti. Aku percaya dengan sebuah kalimat indah tentang bumi dan langit.

“Sujud itu indah, kita berbisik di bumi tapi didengar di langit.” 


Lalu, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

 

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدُ فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ

 

"Sedekat-dekatnya seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah do’a (pada waktu sujud)."

Comments

Popular posts from this blog

Teh Botak dan Kepindahannya

BAB di Kampus

Akhi Wa Ukhti