Kebiasaan yang (Hampir) Terlupakan: Dhuha



Bismillah.

Malam hari itu aku pulang lebih lama dari biasanya. Aku meluangkan waktu untuk belajar sesuatu dari dua orang yang aku hormati di kantor. Keduanya memberikan pelajaran yang baik. Namun kali ini aku ingin bercerita tentang satu orang terlebih dahulu. Pelajaran apa itu? 


   “Ciyeee yang sebentar lagi nikahan?” 

   “Alhamdulillah, semuanya atas izin Allah. Allah yang mudahkan.”

   “Pak, bagaimana awal mula ketemu si ‘dia’?”

  “Singkat saja, dipertemukan dan saya tanya satu per satu. Alhamdulillah ada kecocokan. Langsung pekan itu juga lamaran.”

Aku penasaran cerita si bapak ini. Lalu beliau pun menceritakan kisahnya saat bekerja di Maluku dulu. Eits? Tunggu dulu. Kok malah jauh ke Maluku. Di Maluku, beliau tinggal cukup lama. Di sana dia bekerja dan membangun kebiasaan yang membuatnya yakin bahwa lamaran yang dilangsungkan beberapa hari lalu adalah jawaban dari kebiasaan mempraktikkan sunnah Rasulullah SAW.

   “Dulu, di Maluku. Alhamdulillah, saya merutinkan shalat dhuha. Betah berlama-lama duduk di mushola.” katanya sambil memakan ayam goreng. Kami baru saja makan dan ditraktir olehnya.

   “Bikin apa lama-lama duduk pak?” tanyaku, penasaran.

   “Lama duduk, berdoa. Bahkan doaku bisa lebih lama dari shalatku.”

Aku memerhatikan dengan seksama, mengangguk dan tersenyum. Aku teringat pernah menemukan bapak ini selesai melaksanakan shalat dhuha. Dia baru saja akan keluar dari ruangan, kami berpapasan dan sama-sama kaget hahahaha.

   “Saya percaya sekali dengan sedekah makanan, karena makanan yang dimakan orang insya Allah akan digunakan untuk beribadah. Terus, sedekah juga bisa mempermudah urusan kita. Nah coba ini, dikatakan bahwa shalat dhuha itu adalah sedekah di setiap sendi-sendi tubuh kita.”

   “Masya Allah.” aku dan beberapa orang mengamini perkataan kepala lab.

   “Lagi, kita juga tahu kalau kita shalat dhuha empat rakaat. Allah akan mencukupkan segala kebutuhan kita di hari itu. Bener kan?” kami mengangguk, mengiyakan.


Aku memerhatikan bapak tersebut, dari matanya dan apa yang keluar dari mulutnya. Tampak kejujuran dan keyakinan yang sangat kuat. Aku jadi mengerti kenapa dia menjaga kebiasaan shalat dhuhanya. Dia percaya dan yakin bahwa shalat dhuha juga berdoa akan berdampak positif dalam kehidupannya sehari-hari.


Kebiasaan shalat dhuha minimal dua rakaat.

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” 

(HR. Ahmad, 5: 286; Abu Daud, no. 1289; At Tirmidzi, no. 475; Ad Darimi, no. 1451)


Obrolan beralih dari satu topik ke topik lain, rencana pernikahan. Setelah itu, aku meminta izin pulang duluan. Di perjalanan pulang aku teringat dengan sebuah quote dari Moh. Hatta, “Membaca tanpa merenungkan adalah bagaikan makan tanpa dicerna.” Aku merenungkan ucapan kepala lab. "Salah satu nikmat yang bisa jadi kita tidak sadari adalah kenikmatan berdoa."


Alhamdulillah, bertemu dan makan malam bersama orang yang lebih bijak menambah insight. Bagiku kepala lab adalah kakak, saudara seiman.

"Temukan dan jaga teman yang ketika kamu melihatnya, kamu teringat Allah. Dia adalah saudaramu, saudara seiman."

Comments

Popular posts from this blog

Teh Botak dan Kepindahannya

Akhi Wa Ukhti

BAB di Kampus